Assalamualaikum Wr.Wb.
Saya mau memposting cerpen yang menjadi tugas Bahasa Indonesia beberapa minggu lalu,
Saya mau memposting cerpen yang menjadi tugas Bahasa Indonesia beberapa minggu lalu,
Selamat membaca (maaf jika ga
jelas).
“Cerita Pengantar Tidur”
Seperti biasa, Bunda selalu membacakan
cerita pengantar tidur untukku. Semua cerita yang Bunda bacakan selalu
membuatku tidak sabar untuk berkomentar. Sampai-sampai Bunda berhenti cerita
jika komentarku sudah seperti kereta api. “Malam ini cerita tentang apa, Bun?”
tanyaku penasaran. “Bunda mau cerita tentang jangan menilai sesuatu hanya dari
luarnya saja,” jawab Bunda. “Maksudnya apa, Bun?”, “Berry simak ya ceritanya
pasti ngerti, deh. Tapi komentarnya belakangan aja ya!,” oceh Bunda. “Oke, kita
mulai ceritanya!”
“Dahulu
kala, ada seorang anak yang hidup sebatang kara. Semua warga desa
mengucilkannya karena tampangnya sangat menyeramkan seperti monster. Tidak ada
satu warga pun yang berani untuk mendekatinya apalagi memberi sedikit belas
kasihan. Semua mengucilkannya, termasuk kedua orangtuanya. Bertahun-tahun anak
itu menahan luka, bertahun-tahun pula
anak itu mencoba untuk bersabar, menerima takdir dari Tuhan, tetap tersenyum
tanpa menyimpan dendam sedikitpun kepada mereka semua. Saat anak tersebut
berusia 12 tahun, kabar buruk itu dengan cepat tersebar kemana-mana. Kepala
Desa yang tak lain adalah ayah anak itu meninggal dunia. Tanpa memikirkan
apapun, sambil menahan air mata, anak itu berlari kencang menuju desa. Namun
apa daya, anak itu diusir dengan dilempari batu dan diteriaki “Pergi sana,
monster tak berguna!” oleh semua warga desa yang tidak mempunyai hati. Anak itu
pun pergi kembali menuju tempat persembunyiannya dengan sekali lagi menahan
luka yang begitu menyayatnya.
Malam harinya, anak itu merenung menatap
rembulan yang sangat indah. “Bukankah Tuhan menciptakan makhluknya dengan
sangat sempurna? Tuhan memberi mata untuk melihat, mulut untuk berbicara,
hidung untuk mencium, dan telinga untuk mendengar. Aku juga punya itu semua,
tapi mengapa mereka tetap mengucilkanku? Bukankah Tuhan menciptakan makhluk
agar saling bersama? Bukankah Tuhan menciptakan makhluk dengan mempunyai
kelebihan serta kekurangan? Dan bukankah Tuhan menciptakan seorang anak untuk
di beri kasih sayang? Tapi mengapa mereka tetap mengucilkanku??"
Tangisan anak itu tidak dapat dibendung
lagi. Dengan sekuat tenaga, anak itu berteriak bahwa ia sudah sangat lelah
dengan semua ini dan meminta agar Tuhan mengambil saja nyawanya dengan segera.
Tapi anak itu tidak menyadari satu hal, bahwa Tuhan mempunyai hadiah istimewa
yang tidak diberikan ke semua orang, hanya beberapa orang yang terpilih lah
yang akan mendapatkannya. Anak itu tidak meyadari satu hal, bahwa ia termasuk
ke dalam orang yang mendapat hadiah istimewa itu.
Setelah merasa cukup melampiaskan
segalanya, anak itu menatap kembali rembulan dan suara bisikkan terdengar di
telinganya. “Kau memang anak yang penakut ya,” suara itu jelas terdengar namun
anak itu tidak mengetahui darimana suara itu berasal. “Jangan takut, anak
kecil. Aku adalah bayangan suara hatimu. Kau saja bisa melampiaskan
kekesalanmu, mengapa aku tidak?,” sambung suara itu kembali. “Kau siapa? Apakah
kau warga desa yang ingin membunuhku? Bunuhlah aku! Tidak papa bunuh saja
aku!,” jawab anak itu dengan tubuh yang gemetar. “Hohoho.. bukankah sudah ku
katakan anak kecil? Aku adalah bayangan suara hatimu. Jangan takut padaku, aku
tahu kau mungkin tidak bisa melihatku, meskipun aku selalu melihatmu. Kau
sangat kesepian, anak kecil. Semua warga desa bahkan kedua orangtuamu saja
tidak memperdulikanmu, anak kecil. Tapi, apakah karena perkataan manusia kau
menjadi lemah? Ingatlah anak kecil, yang meciptakanmu sesungguhnya dan
satu-satunya hanyalah Tuhan, hidup maupun mati mu yang menetukan hanyalah
Tuhan, kaya maupun miskin mu yang memberi rezeki hanyalah Tuhan. Ayolah anak
kecil, kau sudah 12 tahun. Tidak boleh mengeluh, cengeng, maupun berteriak
menyalahgunakan nama Tuhan. Hei, anak kecil, kau lebih memilih mana? Dihina makhluk Tuhan atau dihina Tuhan?
Sungguh, aku, sangat malu jika dihina Tuhanku dibandingkan dengan makhluk
Tuhan. Karena jika kita sudah dihina Tuhan, percuma sajalah kita hidup di dunia
ini, tidak akan ada artinya.” Perkataan aneh tersebut membuat anak itu berpikir
sejenak.
“Lalu, apa tujuan Tuhan menciptakanku? Aku
dengan wajah menyeramkan ini apalah artiku di hadapan Tuhan? Mengapa harus aku?
Mengapa?,” jawab anak itu dengan suara yang tidak terlalu jelas.
“Kau ini lucu sekali ya, anak kecil. Kau
masih bertanya apa tujuan Tuhan menciptakanmu? Karena Tuhan sangat sayang
padamu! Ya, itulah jawabannya. Sederhana sekali. Dan kau bertanya mengapa kau
diberikan wajah yang menyeramkan? Seharusnya kau belajar untuk lebih bersyukur,
anak kecil. Dari atas hingga bawah kau memiliki semuanya, hanya rupa mu yang
menyeramkan. Namun, apakah kau tahu? Di luar sana banyak orang yang tidak
memiliki tangan, kaki, apalah arti sebuah rupa di hadapan Tuhan. Aku ingatkan
kembali, belajarlah untuk lebih bersyukur, anak kecil. Sebab, Tuhan tidak akan
melihat rupa mu. Secantik, setampan, seburuk, apapun kau tidak akan ada artinya jika kau tidak
bertakwa. Yang Tuhan lihat adalah seberapa besar ketakwaan kau, seberapa kuat
kau menahan cobaan yang telah Tuhan berikan. Percayalah, dibalik setiap cobaan
akan ada makna yang tersembunyi.” Jawaban bisikkan tersebut masih membuat anak itu
berpikir sejenak.
Dengan memberanikan diri, anak
itu bertanya.
“Kedua orangtuaku tidak menyayangiku,
apakah itu benar?” Yang ditanya pun malah tertawa. “Hei, anak kecil. Apakah kau
tahu? Tidak ada satu pun orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Para orangtua
pastilah sangat bersyukur telah diberi amanat yang Tuhan titipkan untuk di
rawat,di jaga,dan di didik. Tapi terkadang, ada beberapa keadaan yang sangat
mendesak sehingga membuat para orangtua membenci anaknya. Namun, ketahuilah
anak kecil, di lubuk hati orangtua, ada tempat tersendiri untuk anaknya, dimana
tempat itu tidak bisa diganti oleh apapun. Sebenci-bencinya orangtua,
sekasar-kasarnya orangtua, tetaplah ia menyayangi anaknya. Begitu pula kedua
orangtua kau, setelah lama dinanti, akhirnya kau lahir. Ayah dan ibu kau tidak
malu jika rupa kau menyeramkan. Hasutan dari para warga desa lah yang membuat kedua
orangtua kau akhirnya ikut mengucilkan kau, anak kecil.” Penjelasan itu sudah
cukup menjelaskan semuanya bagi anak itu.
“Kesimpulanku untuk kau adalah jangan
mudah terpancing dengan perkataan orang lain. Biarlah orang lain mengatakan apa
yang menurutnya patut dikatakan. Karena kita harus percaya bahwa kita mempunyai
Tuhan yang selalu menemani walaupun tidak terlihat. Sudahlah, hapus air mata
kau, tidak usah menangis,” suara bisikkan pun perlahan menghilang.
Anak itu menatap rembulan yang
menurutnya rembulan terindah di sepanjang hidup dan menyadari sesuatu. Dengan
cepat anak itu tertidur sambil tersenyum.
Keesokkan harinya, anak itu terbangun lalu
bergegas merapihkan diri untuk berangkat ke desa berbicara apa yang ingin anak
itu sampaikan. Seperti biasa, anak itu diusir semua warga desa. Namun, anak itu
bukan seperti dulu yang langsung pergi menangis. Anak itu akhirnya mencoba
bersuara untuk pertama kalinya di depan orang banyak.
“Semuanya, saya datang untuk meminta maaf.
Apabila saya berbuat salah, mohon dimaafkan. Pilihan kalian semua benar untuk
mengusir saya dulu, karena jika kalian tidak mengusir saya, percuma saja. Saya
hanya akan menjadi benalu bagi kalian semua terutama kedua orangtua saya,”
Karena di luar sangat berisik, ibu anak itu pun keluar rumah untuk melihat apa
yang sedang terjadi.
Ibu itu pun kaget dan langsung memeluk
anak satu-satunya itu. “Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama sekali kita tak
jumpa. Ayahmu meninggal dunia dua hari yang lalu,” Ibu anak itu menangis
tersedu sambil memeluk anaknya yang sudah ia kucilkan.
Warga desa yang lain ikut meneteskan air
mata, bergantian meminta maaf kepada anak itu dan berjanji tidak mengucilkannya
lagi sehingga semua bisa diperbaiki seperti semula. Memang, anak itu memaafkan
mereka semua dengan hati yang tulus dan ingin hidup bahagia bersama. Namun,
Tuhan mempunyai rencana yang lain. Karena Tuhan amat menyayanginya, akhirnya
Tuhan mengambil nyawanya. Itulah hadiah istimewa yang telah Tuhan berikan dan
selamanya anak itu akan kekal di tempat yang paling indah.
Anak itu sama sekali tidak keberatan,
setidaknya anak itu sudah merasakan betapa manisnya memaafkan orang lain.
Kesabaran yang selama ini anak itu pelihara, telah berubah menjadi mutiara yang
sangat bersinar.
Bunda pun mengakhiri ceritanya. Inilah
alasan mengapa aku sangat suka ketika Bunda bercerita. Bunda selalu bisa
membuatku menjadi tokoh utama dalam cerita itu dan memberikanku sedikit pelajaran
tentang hidup.
“Bunda, Berry tahu dong apa maksud cerita
Bunda malam ini,” komentarku yang sudah ku tahan sejak tadi. “Apa tuh? Kok
Bunda penasaran ya,” goda Bunda. “Jangan menilai sesuatu hanya dari luarnya saja!
Berry benar kan??,” jawabku dengan percaya diri. “Itu mah kata-kata Bunda tadi,
curang nih Berry,” protes Bunda yang membuatku ingin tertawa melihatnya.
Aku pun tidur di samping
Bunda, sambil berharap bertemu dengan anak
itu di mimpiku.
SELESAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar