Sabtu, 03 Desember 2016

Cerita Pendek

Assalamualaikum Wr.Wb.
Saya mau memposting cerpen yang menjadi tugas Bahasa Indonesia beberapa minggu lalu,
Selamat membaca (maaf jika ga jelas).


“Cerita Pengantar Tidur”

     Seperti biasa, Bunda selalu membacakan cerita pengantar tidur untukku. Semua cerita yang Bunda bacakan selalu membuatku tidak sabar untuk berkomentar. Sampai-sampai Bunda berhenti cerita jika komentarku sudah seperti kereta api. “Malam ini cerita tentang apa, Bun?” tanyaku penasaran. “Bunda mau cerita tentang jangan menilai sesuatu hanya dari luarnya saja,” jawab Bunda. “Maksudnya apa, Bun?”, “Berry simak ya ceritanya pasti ngerti, deh. Tapi komentarnya belakangan aja ya!,” oceh Bunda. “Oke, kita mulai ceritanya!”

       “Dahulu kala, ada seorang anak yang hidup sebatang kara. Semua warga desa mengucilkannya karena tampangnya sangat menyeramkan seperti monster. Tidak ada satu warga pun yang berani untuk mendekatinya apalagi memberi sedikit belas kasihan. Semua mengucilkannya, termasuk kedua orangtuanya. Bertahun-tahun anak itu  menahan luka, bertahun-tahun pula anak itu mencoba untuk bersabar, menerima takdir dari Tuhan, tetap tersenyum tanpa menyimpan dendam sedikitpun kepada mereka semua. Saat anak tersebut berusia 12 tahun, kabar buruk itu dengan cepat tersebar kemana-mana. Kepala Desa yang tak lain adalah ayah anak itu meninggal dunia. Tanpa memikirkan apapun, sambil menahan air mata, anak itu berlari kencang menuju desa. Namun apa daya, anak itu diusir dengan dilempari batu dan diteriaki “Pergi sana, monster tak berguna!” oleh semua warga desa yang tidak mempunyai hati. Anak itu pun pergi kembali menuju tempat persembunyiannya dengan sekali lagi menahan luka yang begitu menyayatnya.

     Malam harinya, anak itu merenung menatap rembulan yang sangat indah. “Bukankah Tuhan menciptakan makhluknya dengan sangat sempurna? Tuhan memberi mata untuk melihat, mulut untuk berbicara, hidung untuk mencium, dan telinga untuk mendengar. Aku juga punya itu semua, tapi mengapa mereka tetap mengucilkanku? Bukankah Tuhan menciptakan makhluk agar saling bersama? Bukankah Tuhan menciptakan makhluk dengan mempunyai kelebihan serta kekurangan? Dan bukankah Tuhan menciptakan seorang anak untuk di beri kasih sayang? Tapi mengapa mereka tetap mengucilkanku??"

     Tangisan anak itu tidak dapat dibendung lagi. Dengan sekuat tenaga, anak itu berteriak bahwa ia sudah sangat lelah dengan semua ini dan meminta agar Tuhan mengambil saja nyawanya dengan segera. Tapi anak itu tidak menyadari satu hal, bahwa Tuhan mempunyai hadiah istimewa yang tidak diberikan ke semua orang, hanya beberapa orang yang terpilih lah yang akan mendapatkannya. Anak itu tidak meyadari satu hal, bahwa ia termasuk ke dalam orang yang mendapat hadiah istimewa itu.

     Setelah merasa cukup melampiaskan segalanya, anak itu menatap kembali rembulan dan suara bisikkan terdengar di telinganya. “Kau memang anak yang penakut ya,” suara itu jelas terdengar namun anak itu tidak mengetahui darimana suara itu berasal. “Jangan takut, anak kecil. Aku adalah bayangan suara hatimu. Kau saja bisa melampiaskan kekesalanmu, mengapa aku tidak?,” sambung suara itu kembali. “Kau siapa? Apakah kau warga desa yang ingin membunuhku? Bunuhlah aku! Tidak papa bunuh saja aku!,” jawab anak itu dengan tubuh yang gemetar. “Hohoho.. bukankah sudah ku katakan anak kecil? Aku adalah bayangan suara hatimu. Jangan takut padaku, aku tahu kau mungkin tidak bisa melihatku, meskipun aku selalu melihatmu. Kau sangat kesepian, anak kecil. Semua warga desa bahkan kedua orangtuamu saja tidak memperdulikanmu, anak kecil. Tapi, apakah karena perkataan manusia kau menjadi lemah? Ingatlah anak kecil, yang meciptakanmu sesungguhnya dan satu-satunya hanyalah Tuhan, hidup maupun mati mu yang menetukan hanyalah Tuhan, kaya maupun miskin mu yang memberi rezeki hanyalah Tuhan. Ayolah anak kecil, kau sudah 12 tahun. Tidak boleh mengeluh, cengeng, maupun berteriak menyalahgunakan nama Tuhan. Hei, anak kecil, kau lebih memilih mana?  Dihina makhluk Tuhan atau dihina Tuhan? Sungguh, aku, sangat malu jika dihina Tuhanku dibandingkan dengan makhluk Tuhan. Karena jika kita sudah dihina Tuhan, percuma sajalah kita hidup di dunia ini, tidak akan ada artinya.” Perkataan aneh tersebut membuat anak itu berpikir sejenak.

     “Lalu, apa tujuan Tuhan menciptakanku? Aku dengan wajah menyeramkan ini apalah artiku di hadapan Tuhan? Mengapa harus aku? Mengapa?,” jawab anak itu dengan suara yang tidak terlalu jelas.

     “Kau ini lucu sekali ya, anak kecil. Kau masih bertanya apa tujuan Tuhan menciptakanmu? Karena Tuhan sangat sayang padamu! Ya, itulah jawabannya. Sederhana sekali. Dan kau bertanya mengapa kau diberikan wajah yang menyeramkan? Seharusnya kau belajar untuk lebih bersyukur, anak kecil. Dari atas hingga bawah kau memiliki semuanya, hanya rupa mu yang menyeramkan. Namun, apakah kau tahu? Di luar sana banyak orang yang tidak memiliki tangan, kaki, apalah arti sebuah rupa di hadapan Tuhan. Aku ingatkan kembali, belajarlah untuk lebih bersyukur, anak kecil. Sebab, Tuhan tidak akan melihat rupa mu. Secantik, setampan, seburuk, apapun kau  tidak akan ada artinya jika kau tidak bertakwa. Yang Tuhan lihat adalah seberapa besar ketakwaan kau, seberapa kuat kau menahan cobaan yang telah Tuhan berikan. Percayalah, dibalik setiap cobaan akan ada makna yang tersembunyi.” Jawaban bisikkan tersebut masih membuat anak itu berpikir sejenak.

Dengan memberanikan diri, anak itu bertanya.

     “Kedua orangtuaku tidak menyayangiku, apakah itu benar?” Yang ditanya pun malah tertawa. “Hei, anak kecil. Apakah kau tahu? Tidak ada satu pun orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Para orangtua pastilah sangat bersyukur telah diberi amanat yang Tuhan titipkan untuk di rawat,di jaga,dan di didik. Tapi terkadang, ada beberapa keadaan yang sangat mendesak sehingga membuat para orangtua membenci anaknya. Namun, ketahuilah anak kecil, di lubuk hati orangtua, ada tempat tersendiri untuk anaknya, dimana tempat itu tidak bisa diganti oleh apapun. Sebenci-bencinya orangtua, sekasar-kasarnya orangtua, tetaplah ia menyayangi anaknya. Begitu pula kedua orangtua kau, setelah lama dinanti, akhirnya kau lahir. Ayah dan ibu kau tidak malu jika rupa kau menyeramkan. Hasutan dari para warga desa lah yang membuat kedua orangtua kau akhirnya ikut mengucilkan kau, anak kecil.” Penjelasan itu sudah cukup menjelaskan semuanya bagi anak itu.

     “Kesimpulanku untuk kau adalah jangan mudah terpancing dengan perkataan orang lain. Biarlah orang lain mengatakan apa yang menurutnya patut dikatakan. Karena kita harus percaya bahwa kita mempunyai Tuhan yang selalu menemani walaupun tidak terlihat. Sudahlah, hapus air mata kau, tidak usah menangis,” suara bisikkan pun perlahan menghilang.

Anak itu menatap rembulan yang menurutnya rembulan terindah di sepanjang hidup dan menyadari sesuatu. Dengan cepat anak itu tertidur sambil tersenyum.

     Keesokkan harinya, anak itu terbangun lalu bergegas merapihkan diri untuk berangkat ke desa berbicara apa yang ingin anak itu sampaikan. Seperti biasa, anak itu diusir semua warga desa. Namun, anak itu bukan seperti dulu yang langsung pergi menangis. Anak itu akhirnya mencoba bersuara untuk pertama kalinya di depan orang banyak.

     “Semuanya, saya datang untuk meminta maaf. Apabila saya berbuat salah, mohon dimaafkan. Pilihan kalian semua benar untuk mengusir saya dulu, karena jika kalian tidak mengusir saya, percuma saja. Saya hanya akan menjadi benalu bagi kalian semua terutama kedua orangtua saya,” Karena di luar sangat berisik, ibu anak itu pun keluar rumah untuk melihat apa yang sedang terjadi.

     Ibu itu pun kaget dan langsung memeluk anak satu-satunya itu. “Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama sekali kita tak jumpa. Ayahmu meninggal dunia dua hari yang lalu,” Ibu anak itu menangis tersedu sambil memeluk anaknya yang sudah ia kucilkan.

     Warga desa yang lain ikut meneteskan air mata, bergantian meminta maaf kepada anak itu dan berjanji tidak mengucilkannya lagi sehingga semua bisa diperbaiki seperti semula. Memang, anak itu memaafkan mereka semua dengan hati yang tulus dan ingin hidup bahagia bersama. Namun, Tuhan mempunyai rencana yang lain. Karena Tuhan amat menyayanginya, akhirnya Tuhan mengambil nyawanya. Itulah hadiah istimewa yang telah Tuhan berikan dan selamanya anak itu akan kekal di tempat yang paling indah.

     Anak itu sama sekali tidak keberatan, setidaknya anak itu sudah merasakan betapa manisnya memaafkan orang lain. Kesabaran yang selama ini anak itu pelihara, telah berubah menjadi mutiara yang sangat bersinar.

    Bunda pun mengakhiri ceritanya. Inilah alasan mengapa aku sangat suka ketika Bunda bercerita. Bunda selalu bisa membuatku menjadi tokoh utama dalam cerita itu dan memberikanku sedikit pelajaran tentang hidup.

     “Bunda, Berry tahu dong apa maksud cerita Bunda malam ini,” komentarku yang sudah ku tahan sejak tadi. “Apa tuh? Kok Bunda penasaran ya,” goda Bunda. “Jangan menilai sesuatu hanya dari luarnya saja! Berry benar kan??,” jawabku dengan percaya diri. “Itu mah kata-kata Bunda tadi, curang nih Berry,” protes Bunda yang membuatku ingin tertawa melihatnya.

Aku pun tidur di samping Bunda, sambil berharap bertemu dengan anak itu di mimpiku.



SELESAI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar